Cerpen Karangan : Faisal Ramadhan
Kategori : Cerpen Lucu
Banyak yang enggak tahu, kalau diem-diem kaya gini ternyata gue punya phobia sama yang namanya kentut. Yang gue namain kaentut phillia, yaitu rasa takut yang berlebih terhadap kentut. Bukan, gue bukan takut sama kentutnya. Tapi yang gue takutin itu ngentut di depan orang (itu si bukan phobia, malu). Masa gue takut ngentut, bisa-bisa badan gue ini jadi balon udara karena gak pernah ngeluarin kentut, diakibatkan rasa takut yang berlebih.
Setiap kali gue merasa ingin kentut di dekat seseorang, gue mencoba menahannya. Tapi yang terjadi muka gue malah berubah menjadi aneh. Bulu gue merinding dan napas gue udah gak teratur.
“kenapa lo pan, tiba-tiba diem gini.” kata dimas, temen sebangku gue.
“(gue menggelengkan kepala) gak apa-apa”
“masuk angin lo?”
“gak.”
“(gue menggelengkan kepala) gak apa-apa”
“masuk angin lo?”
“gak.”
Selang beberapa detik gue bersendawa, eeeggh. Kentut gue telah berubah menjadi sendawa.
“tu kan masuk angin lo” Dimas panik, setelah mendengar suara aneh itu keluar dari mulut gue.
“enggak kok, malah gue abis ngeluarin angin.”
“tu kan masuk angin lo” Dimas panik, setelah mendengar suara aneh itu keluar dari mulut gue.
“enggak kok, malah gue abis ngeluarin angin.”
Dari kejaadian konyol gue yang terlalu takut untuk ngentut di hadapan orang. Gue malah mandapat satu cara untuk menghilangkan kentut. Dan ini bukan main-main. Jadi, bagi anda yang mempunyai phobia seperti saya, silahkan ikuti langkah-langkah di bawah ini.
Peringatan: Hanya bisa digunakan untuk menghilangkan kentut, tidak untuk menghilangkan boker.
Tahan kentut
1. Ambil posisi yang kamu anggap enak. Jongkok lebih baik.
2. Ambil napas, lalu hembusakan. Lakukan sebanyak 3 kali.
3. Cobalah menahan kentut. Caranya seperti menahan pipis.
2. Ambil napas, lalu hembusakan. Lakukan sebanyak 3 kali.
3. Cobalah menahan kentut. Caranya seperti menahan pipis.
Ingat. Jangan sesekali kamu ngeden. Pokoknya jangan!
4. Tahan posisi ini sampai satu menit.
5. Setelah satu menit, dijamin rasa kentut kamu akan hilang.
Dalam beberapa kasus banyak orang yang kaget karena setelah dia melakukan hal ini, dia bersendawa. Tapi jangan takut, apabila anda bersendawa, itu tandanya anda telah berhasil melakukan percobaan menahan kentut. Kentut anda telah berhasil didaur ulang menjadi sendawa.
Di jamannya gue masih SMP, kentut seperti menjadi musuh abadi buat gue. Gue merasa dipermalukan oleh kentut. Gara-gara kentut juga gue berhasil dicap menjadi manusia kentut. Dan gue punya masa lalu yang buruk dengan kentut.
Kejadian ipan manusia kentut itu dimulai sejak gue masih duduk di bangku kelas satu SMP.
Saat itu gue enggak terlalu memperdulikan kentut, bagi gue kentut adalah suatu yang wajar dimiliki oleh seseorang. Dan saat itu gue belum tahu cara menahan kentut, jadi dengan biadabnya gue bisa ngentut kapan aja, dimana aja, semau dan sesuka hati gue.
Tanpa harus cemas ada yang marahin gue. Satu contoh dimana gue belum menghiraukan kentut sebagai masalah yang pelit nantinya, saat itu gue lagi ngumpul di dalam kelas sama teman-teman gue. Lagi asik-asiknya ngumpul, gue dengan hebatnya ngentut di hadapan mereka. PPEEETTT.
“pan, ngentut lu ya.” Kata dadi, seorang teman sebangku gue. Yang mungkin sudah hafal dengan bau kentut gue.
“Hahaha.” Gue ketawa setan.
“najis,” Lanjut saka “bongo amat lu.”
“BONGO!.” Aji teriak dengan nafsunya.
“Hahaha.” Gue ketawa setan.
“najis,” Lanjut saka “bongo amat lu.”
“BONGO!.” Aji teriak dengan nafsunya.
Pokoknya hari itu gue sukses dimaki-maki oleh mereka tapi gue mengganggap itu sebagai hal yang biasa. Gue enggak marah sama mereka, malah sebaliknya. Ibaratnya itu seperti teman gue punya istri dan istrinya itu gue rebut. Jelas, gue enggak bakal marah akan hal ini. Biasa.
Pada sampai akhirnya, untuk pertama kalinya, gue benci sama yang namanya kentut.
Setelah gue puas dengan hebatnya mengentuti teman-teman gue dan berhasil membuat mereka kelepek-kelepek. Akhirnya gue kena karma kentut. Gue kualat karena selama ini sering bermain-main dengan kentut.
Setelah gue puas dengan hebatnya mengentuti teman-teman gue dan berhasil membuat mereka kelepek-kelepek. Akhirnya gue kena karma kentut. Gue kualat karena selama ini sering bermain-main dengan kentut.
Saat itu ulangan semester pertama dan ruangan gue saat ulangan itu nyampur sama anak kelas tiga. Jadi kita itu duduk bersebelahan sama anak kelas tiga. Tapi beruntungnya saat itu gue duduk sendiri, gue duduk paling depan, dekat dengan meja pengawas.
Awalnya ulangan berjalan dengan lancar. Gue dapet soal, gue lihat soal dan gue kerjain itu soal. Sangat begitu simple pikir gue. Tapi masalah pun datang tiba-tiba, saat lagi enak-enaknya ngerjain soal, tanpa ada angin, tanpa ada petir. Gue ngentut, PPPEETTT. Suara yang keluar begitu lembut, merdu dan kencang. Sampai-sampai seisi kelas dibuat takjub oleh suara itu.
“apaan tuh, apaan?” suara seseorang terdengar dari belakang gue.
Gue udah malu banget dengan semua ini.
Gue udah malu banget dengan semua ini.
“ALIF NGENTUT.” Kata orang yang beda, n gejerit dari belakang.
“Hahaha”
“Hahaha”
Satu ruangan yang tadinya hening, langsung dengan cepatnya menjadi ramai. Tapi masalahnya, mereka menyebut nama alif. Apa karena mereka enggak tahu nama gue, makanya mereka manggil gue dengan nama alif, karena memang bentuk tubuh gue yang menyerupai huruf alif dalam bahasa arab.
Saat gue nengok ke belakang, gue melihat muka temen sekelas gue yang duduk tepat di belakang gue cengengesan ngetawain gue. Gue semakin yakin kalau mereka ngetawain gue. Tapi saat gue nengok ke orang yang duduk di sebelahnya, yaitu anak kelas tiga. Gue ngelihat dengan jelas nya nama ALIF RAMADHAN tertempel di papan nama baju dia. Sudah bisa dipastikan, saat itu mereka semua ngetawain si alif (malang) itu, bukan gue.
“Alif, kamu buang angin ya?” tanya guru pengawas
“enggak bu, enggak.” Si Alif (malang) mencoba membela diri.
“alah Alif, ngaku aja.” Lagi-lagi seseorang teriak dari belakang.
“Hahahaha” mereka semua semakin ketawa lepas.
“enggak bu, enggak.” Si Alif (malang) mencoba membela diri.
“alah Alif, ngaku aja.” Lagi-lagi seseorang teriak dari belakang.
“Hahahaha” mereka semua semakin ketawa lepas.
Sebenarnya saat itu gue kasihan sama si Alif (malang) itu. Yang ngentut siapa, yang disalahin siapa. Tapi gue juga merasa senang, berkat si Alif gue enggak harus menanggung malu saat itu.
Jam pertama ujian semester selesai. Gue buru-buru keluar sebelum mereka sadar kalau yang kentut itu adalah gue dan si Alif, masih saja menanggung apes, dia dikata-katain sama temannya. Selama jam istirahat gue merasa tenang-tenang aja, seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.
Saat masuk jam kedua ujian, nasib buruk gue pun terjadi. Ternyata si Alif telah memberitahu yang sebenarnya kepada teman-temannya, bahwa yang ngentut itu bukan dia, tapi gue. Maka dengan sukses gue diolok-olok sama mereka.
“woy yang ngentut itu elo ya?” kata seorang kakak kelas, dengan muka cengengesan.
“bukan kok, bukan” jawab gue, panik
“ngaku aja lo,” si Alif ngomong dengan beringas “lo kan yang ngentut.”
“bukan kok, bukan” jawab gue, panik
“ngaku aja lo,” si Alif ngomong dengan beringas “lo kan yang ngentut.”
Gue hanya pasrah dengan tuduhan itu. dan di dalam kelas, gue sukses diketawain sama anak kelas tiga, bahkan teman sekelas gue pun ada yang ngetawain gue. Nasib.
Selama seminggu ulangan semester, gue dihantui rasa malu yang begitu malu (Nah.). Gue dikongekin terus sama kakak-kakak kelas. Dari mulai masuk, istirahat, bahkan sampai saat pulang pun mereka tidak bosen-bosen ngongekin gue.
Gue udah enggak tahan dengan beban mental yang satu ini. Gue berharap ada gempa bumi yang sangat keras dan menghancurkan sekolah gue. Dengan itu sekolah pun diliburkan dan gue akan tenang.
Karena merasa sangat malu, gue pun berencana untuk masuk sekolah belakangan dan pulang duluan.
Karena merasa sangat malu, gue pun berencana untuk masuk sekolah belakangan dan pulang duluan.
Maksudnya saat masuk sekolah, gue gak harus buru-buru masuk ke kelas, gue akan masuk kalau guru pengawas sudah masuk. Dengan demikian, gue gak akan dikongekin sama mereka. Dan saat pulang, gue akan buru-buru mengumpul soal duluan, agar bisa pulang dengan cepat, tanpa harus ketemu mereka.
Alhasil, rencana gue enggak berjalan seperti yang gue inginkan. Rencana pertama untuk masuk kelas belakangan telah berjalan lancar. Tapi rencana yang kedua, untuk ke luar kelas duluan tidak bisa gue lakukan. Karena terlalu bodoh atau apa,gue gak bisa mengerjakan soal-soal ulangan dengan cepat. Gue selalu ke luar di saat anak kelas tiga telah ke luar. Dan mereka dengan setianya selalu nunggu gue keluar di depan pintu.
“wih udah selesai.” Kata seorang anak kelas tiga dengan muka siap ketawa.
Gue hanya senyum, perasaan gue mulai gak enak. Sepertinya sebentar lagi bencana besar akan terjadi.
“woy,” lanjut dia “udah cebok belom.”
“Hahaha.” Mereka semua ketawa.
“Hahaha.” Mereka semua ketawa.
Gue hanya diem kesel, di saat gue mau pergi, tangan gue ditarik lagi sama dia.
“mau kemana? cebok dulu.” Dia makin menjadi.
“Hahaha.”
“mau kemana? cebok dulu.” Dia makin menjadi.
“Hahaha.”
Gue jadi pengen nyate mereka.
Dengan perasaan sedih, gue pun pulang ke rumah. Sampai rumah, gue buka baju, buka celana, masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gue nangis…kejer. hehe, enggaklah.
Dengan perasaan sedih, gue pun pulang ke rumah. Sampai rumah, gue buka baju, buka celana, masuk ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, gue nangis…kejer. hehe, enggaklah.
Setahun kemudian, tepatnya sekarang gue udah kelas delapan. Gue udah mulai lupa sama tragedi kentut yang membawa petaka itu. Dan anak–anak kelas tiga (sialan) itu udah pada lulus semua. Dan sekarang gue akan lebih hati-hati untuk ngeluarin kentut, tidak seperti dulu yang begitu arogan.
Waktu itu seperti layaknya pria normal lainnya, gue sempet punya taksiran di kelas gue, namanya Ina (bukan nama sebenarnya, sengaja disamarkan karena menyangkut masa depan dia), di mata gue, dia itu cantik, rambutnya bergelombang, dan immuut banget. Gue tergila-gila pokoknya sama dia. dan katanya, ternyata dia itu seneng banget sama cowok yang pendiam dan tidak banyak tingkah. Pas ni sama gue.
Gue duduk tepat di sebelah meja dia, maksudnya si tidak lain dan tidak bukan agar lebih mudah untuk memandang dia. Gue berusaha menjaga sikap setenang mungkin di hadapan dia. Dan secara kebetulan, teman gue si Riski, pernah mantanan sama si Ina. Jadi gue bisa tanya langsung ke Riski apa aja yang disukai Ina.
“ki, Ina kan mantan lo,” gue berusaha mencari tahu “lo tahu gak dia itu suka sama cowok yang kaya gimana?”
“kenapa lo nanyain dia, suka lo?” sahut riski.
“gile, ya enggaklah. Gue mau tahu aja.”
“dia itu suka sama cowok yang..” riski berpikir sesaat “putih, wangi, rapi, pendiem dan gak banyak tingkah.”
“kenapa lo nanyain dia, suka lo?” sahut riski.
“gile, ya enggaklah. Gue mau tahu aja.”
“dia itu suka sama cowok yang..” riski berpikir sesaat “putih, wangi, rapi, pendiem dan gak banyak tingkah.”
Setelah gue diberi tahu sesuatu yang amat penting itu dari riski, gue pun mencoba berubah menjadi seperti yang riski bilang. Gue berubah menjadi: Beras yang dipakein jas dan dikasih minyak wangi (kan katanya putih, rapi, wangi, diem).
Gue berharap si Ina jadi tertarik sama penampilan (konyol) gue.
Sejak saat itu penampilan gue yang sebelum nya acak-acakan, bau dan dekil, seketika berubah menjadi sedikit tidak acak-acakan yang tadinya bau amis jadi wangi kumis, yang tadinya dekil sekarang jadi sedikit tidak dekil lagi. Ini semua gue lakukan demi Ina.
Sejak saat itu penampilan gue yang sebelum nya acak-acakan, bau dan dekil, seketika berubah menjadi sedikit tidak acak-acakan yang tadinya bau amis jadi wangi kumis, yang tadinya dekil sekarang jadi sedikit tidak dekil lagi. Ini semua gue lakukan demi Ina.
Saat pelajaran pendidikan kewarganegaraan, seperti biasa kelas gue sangat ramai. Ini dikarenakan guru mata pelajaran itu sangat asik dan menyenangkan. Tidak seperti pelajaran-pelajaran lain, di pelajaran ini gue merasa bebas seperti burung lepas. Gue hanya becandaan, sambil cekikikan sama teman sebangku gue, si Kevin. Kita ngomongin apa aja yang kita anggap lucu.
“pan, pan, lihat ge tu,” kata Kevin, menunjuk rambut Aisa.
Aisa adalah seorang wanita yang mempunyai kulit hitam pait dan rambut yang keriting. Dia duduk tepat di depan gue. Dan dia merupakan korban yang paling sering gue dan Kevin kerjain.
“kenapa dia?.” gue nanya, sambil memperhatikan rambut Aisa.
“lihat yang jelas ge,” Kevin ngomong sambil cekikikan “rambut dia ada tai kayunya”
“Hahaha, iya benar. Kok bisa kaya gitu ya.” Gue merasa takjub dengan kejadian yang ada di depan mata gue.
“hehe, gue yang ngasih itu ke rambutnya.”
“haha, iseng amat lo. Haha”
“lihat yang jelas ge,” Kevin ngomong sambil cekikikan “rambut dia ada tai kayunya”
“Hahaha, iya benar. Kok bisa kaya gitu ya.” Gue merasa takjub dengan kejadian yang ada di depan mata gue.
“hehe, gue yang ngasih itu ke rambutnya.”
“haha, iseng amat lo. Haha”
Kevin begitu profesionalnya mengerjain orang, bahkan korbannya tidak menyadari sama sekali bahaya yang sedang mengancam keindahan rambutnya.
Intinya hari itu gue seneng bener, gue sama Kevin bagaikan sepasang setan dari neraka yang mengganggu ketenteraman kelas. Semua kejadian di dalam kelas saat itu gue anggap lucu aja, apadahal itu semua biasa aja.
Seperti saat si riski yang gak bisa ngerjain tugas yang diberikan guru di depan kelas, gue dan Kevin ngetawain si riski dengan biadabnya. Ya walaupun akhirnya Kevin juga disuruh maju dan dia juga gak bisa ngerjain itu tugas. Atau saat gue dan Kevin ngetawain mukanya si asep yang begitu aneh (walaupun setiap hari memang kaya gitu mukanya, tapi hari itu gue merasa lucu aja melihat muka asep).
Berkali-kali kita ditegur dengan guru karena kelakuan kita yang gak mau diem itu. Tapi kita gak terlalu memperdulikannya, teguran guru kita anggap seperti angin lalu yang masuk dari kuping kanan, keluar di mulut kiri (Lho).
Sampai pada akhirnya, ada satu kejadian yang berhasil membuat kita diem pada hari itu.
Saat kita lagi enak-enaknya ketawa lebar, gue dengan tololnya lagi-lagi ngentut… lagi. BRROOTT.
Saat kita lagi enak-enaknya ketawa lebar, gue dengan tololnya lagi-lagi ngentut… lagi. BRROOTT.
Suara kentut gue yang keluar hari itu sangat besar, sampai-sampai terdengar ke benua amerika. Ini adalah suara kentut yang begitu besar yang pernah gue keluarkan di hadapan orang banyak, didengar oleh puluhan pasang kuping. Dan sukses membuat seisi kelas menjadi diem.
Kevin yang tadinya cekikikan, tiba-tiba jadi diem. Seisi kelas melihat ke arah gue dan Kevin. Dan gue udah siap kalau memang harus dirajam.
Lima detik kemudian seisi kelas ketawa dengan riang gembira.
“Hahaha.”
“Hehehe.”
“Hohoho.”
“haha, siapa itu yang ngentut?” kata rehan
“Hahaha.” semua kembali gembira.
“Hahaha.”
“Hehehe.”
“Hohoho.”
“haha, siapa itu yang ngentut?” kata rehan
“Hahaha.” semua kembali gembira.
Gue dan Kevin malah ikutan ketawa.
“Kevin NGENTUT.” Teriak dika dari kejauhan.
“Kevin NGENTUT.” Teriak dika dari kejauhan.
Mendengar hal itu, otak licik gue pun bekerja. Gue malah ikutan nuduh Kevin sebagai dalang dibalik kerusuhan ini.
“iya ni woy Kevin yang ngentut, haha.” Gue nuduh Kevin, sambil nunjuk dia.
Mendengar gue ngomong kaya gitu, Kevin langsung berusaha membela diri dengan ngomong “bukan gue yang ngentut, bukan gue.” muka Kevin makin serius “ni, si irfan ni yang ngentut.” Kevin nunjuk-nunjuk muka gue.
Pernyataan Kevin tersebut tidak begitu dipedulikan oleh mereka. Malah, sebagian besar menuduh bahwa Kevinlah dalang dibalik pemboman ini. Hanya sebagian kecil saja yang menuduh gue.
Masalahnya, sepertinya Ina tahu kalau guelah yang sebenarnya ngentut. Berhubung Ina duduknya di sebelah meja gue, pasti dengan jelas dia mengetahui semua ini. Mampus.
Gue memandang ke arah Ina, ternyata dari tadi Ina telah ngelihatin gue. dia ngelihat dengan muka jijik ke arah gue. Gue malu banget saat itu, rasanya gue ingin ngomong “tenang na, tadi itu bukan gue, tapi calon anak gue.”
Mungkin sejak saat itu ina menjadi ilfil dengan gue. Setiap kali gue mencoba mendekatinya, dia malah menjauh dari gue. Kayak jaga jarak gitu. Saat itu gue tahu, kalau kentut itu merupakan ilmu mejik. Yang dapat mempengaruhi setiap pendengarnya. Ajaib.
Sampai sekarang, saat gue telah SMA, gue masih aja dihantui ketakutan akan ngentut. Setiap kali gue meras ingin ngentut, gue selalu cepet-cepet lari dari keramaian, menuju ke tempat sepi. Biasanya di tempat sepi itulah gue ngeluarin angin sorga itu.
Kelakuan gue yang satu ini membuat temen-temen gue menjadi penasaran, mereka selalu bertanya dengan gue.
“kenapa lu pan sering bener kalau lagi ngumpul kaya gini tiba-tiba pergi, dateng lagi, pergi lagi?”
“tenang coy, gue kayak gini demi kebaikan lo orang juga kok.” Jawab gue santai.
“kenapa lu pan sering bener kalau lagi ngumpul kaya gini tiba-tiba pergi, dateng lagi, pergi lagi?”
“tenang coy, gue kayak gini demi kebaikan lo orang juga kok.” Jawab gue santai.
No comments:
Post a Comment