Cerpen Karangan : Faisal Ramadhan
Kategori : Cerpen Horor
Kategori : Cerpen Horor
Kau menghela napas panjang. Bola matamu bergerak ke kanan dan kiri, menyapu setiap jengkal taman ini. Kau menggerakkan tangan kanan, mengetuk-ngetuk kursi besi berwarna merah, yang diduduki sedari tadi. Hembusan angin menerpa bajumu yang tipis dan membelai paha putih nan mulusm itu. Kau semakin kencang mengetuk-ngetuk kursi.
Kau melirik tas di sebelah kanan. Memindahkannya ke atas paha. Tanganmu mengubek-ubek isinya. Mencari handphone. Beberapa saat kamudian benda itu berhasil kau genggam. Berbagai jenis pesan menghiasi layar; whatsapp, line, bbm, messenger. Kau menghiraukan semuanya. Hanya fokus melihat angka di pojok kanan atas. 22:13, pertanda malam sebentar lagi mencapai puncaknya.
Kau teringat, Jumat kemarin, di waktu yang sama, kau sedang sibuk-sibuknya bekerja. Meladeni permainan pemuda-pemuda di kosan sempit nan bau. Mengikuti kemauan mereka yang aneh. Memaksamu memakai seragam SMA yang sudah disiapkan. Satu orang memelukmu, sedangkan yang lainnya merekam lewat kamera handphone. Kau tidak melawan, sesuai kesepakatan.
Bungkus rokok tergeletak di sebelah kirimu. Kau mengambil satu batang. Meletakkan rokok itu di antara jari tengah dan telunjuk. Menyalakkan korek api dengan tangan kiri. Perlahan bibirmu menghisapnya. Beberapa detik kemudian mengembuskan asap. Sekali lagi menghisapnya. Lalu mengembuskan asap. Terus mengulanginya. Sesekali asap keluar dari hidungmu.
Taman yang sepi. Beberapa temanmu sudah pergi dari tadi. Sama sepertimu, mereka memakai baju tipis dan rok mini malam ini. Tak lupa memoles wajah dengan make up. Tersenyum manis setiap ada lelaki yang mendekati. Kau heran. Sudah jam segini, belum ada lelaki yang membawamu. Malam yang sial.
Rokok di tangamu semakin pendek. Kau kembali menghisapnya. Lebih lama dari sebelumnya. Setelah itu membuangnya. Tidak ada lagi rokok yang tersisa.
“SIAL,” Kau mendengus sebal sambil meremas bungkus rokok berwarna putih tersebut.
“SIAL,” Kau mendengus sebal sambil meremas bungkus rokok berwarna putih tersebut.
Bola matamu kembali bergerak ke kanan dan kiri. Tidak banyak orang yang kau lihat di taman ini. Sepi. Kau bangkit dari kursi. Berjalan mondar-mandir layaknya setrika. Menghitung berapa lama lagi harus menunggu. 23.00, kau meletakkan kembali handphone setelah melihat angka itu. Angka yang menandakan malam semakin matang.
“Sial.” Sekali lagi kau mendengus sebal.
“Sial.” Sekali lagi kau mendengus sebal.
Capai mondar-mandir dan lelah menunggu, kau memutuskan untuk pulang. Memaksa kaki untuk melangkah. Tanganmu membawa tas cokelat. Mulai dari perlengkapan make up, handphone, power bank dan barang-barang penunjang pekerjaanmu tersimpan di dalamnya. Lemah kau melangkah.
Baru beberapa langkah, dari jauh ada sorot lampu yang menyilaukan matamu. Kau pun berhenti. Ada kesempatan mendapatkan uang. Wajahmu yang sempat layu kembali mekar.
Sorot lampu semakin mendekat. Membuat bayanganmu utuh. Kau tersenyum. Senyuman yang sangat manis. Kau teringat, pelajaran pertama di dunia kupu-kupu malam. Salah satu cara untuk menarik perhatian yaitu dengan senyuman. Berikan senyum termanis. Tak lama kemudian mereka akan terpikat.
Kau semakin senang. Sorot lampu tersebut bukan dari sepeda motor tapi mobil. Ya, mobil. Itu artinya lebih banyak uang yang akan dibawa pulang. Orang kaya biasanya memakai mobil, bukan? Kau pun membayangkan, jika transaksi berjalan mulus, pasti dia akan membawamu ke hotel. Tidak ke kontrakan sempit, kosan berantakan, atau ke semak-semak. Seperti pengalaman-pengalamanmu sebelumnya. Kau pun tersenyum lebih lebar.
Belum sempurna mobil berhenti, senyum di bibirmu menghilang. Tanpa diberi aba-aba kau langsung lari. Orang-orang yang ada di mobil tersebut buru-buru keluar. Kakinya bergerak cepat. Mengejarmu yang terbirit-birit. Seorang lelaki berteriak. Menyuruhmu berhenti. Tapi kau menghiraukannya, tidak mengurangi kecepatan sedikit pun.
Bagaikan binatang buruan, kau berlari sekuat tenaga. Secepat yang kau bisa. Tidak peduli kakimu lecet karena memakai sepatu ber-hak tinggi. Untungnya kau sudah terlatih memakai sepatu tinggi. Bukan hanya berjalan tapi juga berlari.
Sambil tertatih kau melepas sepatu, yang tingginya 10 cm. Supaya bisa berlari lebih cepat. Napasmu ngos-ngosan. Kau mulai kelelahan. Peluh membanjiri tubuh. Celaka! langkahmu kalah cepat. Lelaki yang memburumu semakin mendekat. Hanya tertinggal beberapa langkah saja.
Sambil tertatih kau melepas sepatu, yang tingginya 10 cm. Supaya bisa berlari lebih cepat. Napasmu ngos-ngosan. Kau mulai kelelahan. Peluh membanjiri tubuh. Celaka! langkahmu kalah cepat. Lelaki yang memburumu semakin mendekat. Hanya tertinggal beberapa langkah saja.
Dalam hati kau menggerutu. Sial, hari ini benar-benar sial. Di luar dugaan, patroli berlangsung di malam Jumat. Padahal biasanya hari Sabtu atau Minggu. Kau tidak henti memaki kenalanmu di Satpol PP, dia tidak memberitahu kalau malam ini akan ada razia.
Kau terus berlari. Di pinggir jalan, tiba-tiba kepalamu terasa sakit. Badanmu terasa remuk. Samar kau melihat beberapa lelaki berseragam mengelilingimu. Mereka panik menyaksikan tubuhmu yang berlumuran darah. Sementara mobil yang menabrakmu pergi entah kemana.
Setelah kematianmu, taman ini menjadi sepi. Semua orang takut datang ke sini malam hari. Apalagi malam jumat. Mereka takut melihatku. Melihat perempuan berbaju tipis, rok mini, yang duduk manis di kursi merah pojok taman. Entahlah aku heran, kenapa mereka takut? Padahal aku selalu tersenyum manis saat bertemu. Apa karena mereka tahu kalau diriku adalah kamu?
No comments:
Post a Comment